Alquran surah al-Fath ayat terakhir menyebutkan empat
karakteristik yang harus dimiliki oleh umat Nabi
Muhammad SAW.
Pertama, asyidda
‘alal kuffar (bersikap keras terhadap orang-orang kafir).
Bersikap keras dalam ayat ini bukanlah berarti umat Islam harus menempuh jalan
radikal terhadap kelompok non-Muslim, akan tetapi maknanya adalah umat Islam
harus berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam
serta mengamalkannya secara utuh.
Ungkapan lain, umat Islam tidak mengenal adanya kompromistis terhadap cara
hidup orang-orang kafir yang tidak kenal batas halal dan haram.
Ciri kedua, ruhama
bainahum (menebarkan kasih sayang terhadap sesama). Umat Islam
dituntut untuk menebarkan kasih sayang terhadap sesama mereka, membela yang
lemah, meringankan kesusahan saudaranya, dan memberikan manfaat kepada
orang lain. Tentu semua itu harus dilakukan dengan penuh ketulusan hati, tanpa
pamrih dan tanpa embel-embel yang sarat dengan kepentingan sesaat pribadi atau
kelompoknya.
Oleh sebab itu, dalam menanamkan nilai-nilai kasih sayang ini, seorang tokoh
pahlawan Indonesia, KH Ahmad Dahlan mengajarkan surah al-Ma’un kepada
murid-muridnya secara berulang-ulang. Tidak lain, ini bertujuan agar kandungan
atau pesan ayat tersebut dipahami dengan baik sehingga nilai kasih sayang tidak
sebatas kata-kata, tetapi dibuktikan dengan aksi nyata, seperti gemar membantu
orang lain, khususnya membantu dan menyantuni kaum dhu’afa, baik keperluan
pendidikannya, pakaiannya, makanannya, maupun keperluan asas lainnya.
Ketiga, dzikrullah (mengingat
Allah). Allah dan rasulNya telah memerintahkan umat Islam supaya banyak
berzikir kepada Allah SWT. Nash al-Qur’an dan hadis Nabi SAW banyak menjelaskan
tentang keutamaan dan pentingnya zikir. Jadi, ciri umat Muhammad selanjutnya
adalah senantiasa mengingat Allah SWT, seperti menunaikan shalat, puasa, ibadah
haji, membaca dan mendalami pemahaman Alquran, shalat malam, dan bentuk-bentuk
zikir lainnya.
Namun, ibadah zikir ini tidak hanya dimaknai dengan zikir syafawi (lisan),
tetapi perlu dimaknai dengan zikir yang lebih luas, yaitu dzikir fi’li
(perbuatan) yang melahirkan watak dan perilaku yang baik dan terpuji ketika
bergaul di tengah lingkungan kehidupan masyarakat yang kompleks dengan tanpa
sifat kepura-puran dan kebohongan.
Ada pun ciri yang keempat, Simaahum
fi Wujuhihim min Atsaris Sujuud (terdapat tanda bekas sujud
pada wajah mereka). Maknanya, bahwa wajah umat Muhammad SAW akan memancarkan
cahaya putih disebabkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Jadi, zikir
ritual yang disertai aktivitas sosial kemanusiaan inilah yang menyebabkan wajah
pelakunya bercahaya, yaitu pada air mukanya kelihatan kekuatan iman dan
kesucian hatinya.
Demikianlah karakteristik mereka yang disebutkan dalam kitab Taurat dan Injil
yang asli, perumpamaannya laksana tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas
tersebut menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus
di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
Mukmin). Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS
Al-Fath [48]:29).
(Artikel Hikmah ini
pertama kali dimuat di Republika pada 29 Mei 2013)