Kita sering mendengar
ungkapan “kesabaran saya sudah habis” atau “sabar itu ada batasnya”. Ungkapan
ini seolah sudah menjadi tameng bagi segenap orang untuk melampiaskan nafsu
amarah yang bercokol dalam diri mereka, atau minimal dijadikan alasan untuk
mendapatkan pemakluman, agar segala tindakannya yang membabi
buta dibenarkan oleh orang lain.
Misalkan,
seorang guru atau orangtua menghadapi putra/putrinya yang susah diatur. Setelah
dinasehati berkali-kali, namun tetap saja tidak ada perubahan. , akhirnya
terucaplah “kalimat ampuh” tersebut untuk bertindak kasar ke pada mereka. “Kamu
ini sudah dinasehati berkali-kali, masih saja bandel. Kesabaran saya sudah
habis gara-gara kamu. Ingat, kesabaran seseorang itu ada batasnya,” damprat
mereka.
Bahkan,
tidak jarang setelah marah dengan verbal, diikuti pula dengan tindakan fisik.
Sekalipun
apa yang ditulis di atas hanyalah sebuah ilustrasi, namun realitasnya tidak
sedikit orang telah mempraktekkannya. Tidak hanya dalam menghadapi masalah
keluarga, terhadap permasalahan sosial pun hal ini kerap terjadi.
Yang lebih
membahayakan kalau kalimat-kalimat tersebut diarahkan kepada Allah. Kadangkala
ada orang yang merasa Allah telah menzaliminya dengan ujian yang dia anggap
telah berada di atas kemampuannya. Yang memprihatinkan, adegan semacam ini
sering sekali menjadi tontonan masyarakat melalui film-film ataupun
sinetron-sinetron di layar kaca.
Benarkah
tindakan semacam ini? Bagaimana sikap yang benar dalam menyikapi suatu permasalahan/ujian
agar justru mengundang rahmat Allah di dalamnya?
Sabar Itu
Jamu
Sabar
adalah satu kata yang sangat ringan diucapkan, namun sukar untuk dilaksanakan.
Setiap orang mampu untuk mengutarakannya. Namun, apakah dia juga kuasa
melaksanakannya? Belum tentu. Hal ini masih dibutuhkan pembuktian.
Namun,
yang perlu kita perhatikan, bahwa sabar merupakan cara ampuh dalam menghadapi
segala permasalahan dengan bijak. Sebaliknya, sikap reaktif memandang suatu
permasalahan bisa membuat kita bertindak gegabah, bahkan tidak jarang justru
semakin memperkeruh permasalahan.
Kisah Nabi
Ishaq yang mengatakan “Fa-shabrun jamiil” (maka kesabaran yang baik itulah
(kesabaranku)), ketika anak-anaknya mengabarkan kehilangan Yusuf dan Bunyamin,
bisa kita jadikan teladan. Dengan kesabarannya itu pada akhirnya Allah
mengembalikan Nabi Yusuf dan Bunyamin kepada Nabi Ishaq.
Kita bisa
membayangkan, apa yang terjadi sekiranya Nabi Ishaq marah-marah, bahkan
mengusir anaknya dari tempat tinggal mereka. Dia tentu akan rugi dua kali. Pertama,
dia sudah kehilangan Yusuf dan Bunyamin; Kedua, dia akan bermasalah dengan
anak-anaknya yang lain.
Teladan
ini lah yang perlu kita contoh dan dijadikan rujukan dalam menghadapi
permasalahan. Sejalan dengan itu ada peribahasa Arab yang
menyatakan bahwa sabar adalah solusi dari permasalahan: “Ash-Shabru yu’iinu
‘alaa kulli ‘amalin” (Kesabaran itu membantu setiap pekerjaan).
Dengan
demikian, tidak seharusnya kita kehabisan stok sabar. Justru yang seharusnya
kita upayakan adalah senantiasa memupuk dan memupuk sifat sabar dalam diri,
bukan memanjakan emosi sehingga seolah-olah berada di titik akhir kesabaran.
Orang yang
tak kehabisan kesabarannya adalah orang yang istimewa dan luar biasa. Orang
yang demikian mendapat pujian dari Rasulullah, “Sungguh menakjubkan keadaan
orang mukmin itu, karena sesungguhnya semua keadaannya itu merupakan kebaikan
baginya dan kebaikan yang sedemikian itu tidak dapat diperoleh melainkan hanya
oleh orang mukmin saja, yaitu apabila ia mendapatkan kelapangan hidup, ia pun
bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan baginya. Sedangkan apabila ia ditimpa
oleh kesukaran—yakni yang merupakan musibah—ia pun bersabar dan hal ini pun
adalah merupakan kebaikan baginya.” (Riwayat Muslim).
Namun,
yang menjadi catatan besar dalam permasalahan sabar di sini, bukan berarti
pasrah, menerima apa adanya. Hal yang demikian ini bukan merupakan sifat sabar,
namun lebih kepada keputusasaan.
Jadi sabar
itu, kita harus ridha dengan apa yang kita terima, namun juga harus berikhtiar
semaksimal mungkin untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kembali kepada
kasus Nabi Ishaq, beliau tidak hanya mengatakan “Fashabrun jamiil”, namun
beliau juga melakukan suatu aksi kongkrit untuk mencari anak-anaknya yang
hilang, dengan memerintahkan anak-anaknya yang lain menyebar, mencari tahu
keberadaan dua anaknya yang hilang. Bahkan, beliau memberi ultimatum untuk
tidak kembali ke rumah terlebih dahulu, sebelum mereka berdua ditemukan.
Dengan
izin Allah, pada akhirnya kedua anaknya tersebut ditemukan. Poin yang bisa kita
ambil, bahwa sabar itu bukan berarti pasrah dengan keadaan, harus diiringi
dengan perjuangan mengatasi masalah, diakhiri dengan sikap tawakkal dan ridha
terhadap ketetapan Allah.
Fahami
Hakikat Kehidupan
Untuk
mencapai singgasana sabar dengan mulus, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan sehingga semakin menguatkan kita untuk senantiasa bersabar dalam
menghadapi segala hal.
Pertama,
pahami bahwa hidup di dunia ini adalah ujian. Segala macam kondisi yang kita
rasakan, senang, susah, bahagia atau sengsara, semuanya adalah ujian.
Kedua,
yakinlah bahwa Allah Maha Melihat, dan Dia Maha Mengetahui sejauhmana kemampuan
seorang hamba menerima cobaan darinya. Karena Allah tidak pernah menguji
hamba-Nya di atas kemampuan mereka.
Terakhir,
yakinilah bahwa diluar diri kita terdapat orang-orang yang memiliki beban hidup
jauh lebih berat daripada yang kita pikul, dan tidak sedikit dari mereka mampu
keluar dari lingkaran permasalahan mereka masing-masing. Jadi optimislah bahwa
kita sendiri pun akan mampu melewati rintangan yang tengah kita hadapi.
Dengan
berpegang teguh pada prinsip-prinsip ini, semoga diri kita menjadi semakin kuat
dan sabar dalam menghadapi berbagai persoalan di muka bumi ini, bukan
menjadikan stok kesabaran kita pada posisi minus. Semoga bermanfaat. Wallahu
a‘lam bi-shawab.