BLOG INI.........DIPUBLIKASIKAN SEJAK 30 JANUARI 2010..........Subhanallah walhamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar....... Astaghfirullaahal 'adzhiim, walil muslimiina wal muslimaat.....Mil ladun aadama ilaa yaumil qiyaamah......Amiin yaa rabbal alamiin.....Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.......Ya Allah, lindungilah negeri ini dari kejahatan maupun perbuatan serta persengkokolan orang-orang munafik........SEMOGA ALLAH SWT MERIDHOI AMAL & KEBAJIKAN YANG KITA LAKUKAN....AMIIN YAA RABBAL ALAMIIN...HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID.........

>

Rabu, 20 April 2011

10 HAL YANG TIDAK BISA DIBELI DENGAN UANG


Semua orang pasti membutuhkan uang, karena uang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan hidup kita. Tanpa alat tukar ini kita tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidup. Uang membuat sebagian orang bisa melakukan banyak hal, dibandingkan dengan orang yang tidak memilikinya. Tetapi seberapapun pentingnya uang, masih ada hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Apa itu?! Mari kita simak uraian berikut ini :

1. Waktu


Uang tidak akan bisa mengembalikan waktu yang telah berlalu. Setelah hari berganti, maka waktu 24jam tersebut akan hilang dan tidak mungkin akan kembali lagi. Karena itu gunakan setiap kesempatan yang ada untuk berbuat baik, beribadah, bekerja dan mengisi waktu luang dengan mengerjakan kegiatan
yang bermanfaat.

2. Kebahagiaan

Memang kedengarannya aneh, tetapi inilah kenyataannya. Uang memang bisa membuat anda merasa senang karena anda bisa membiayai liburan mewah, memberi laptop dengan fasilitas yang sangat modern, atau modifikasi mobil balap. Tapi uang tidak bisa menghadirkan secercah kebahagiaan dari dalam lubuk hati kita.

3. Kebahagiaan Anak

Untuk membelikan makan dan pakaian yang bagus – bagus untuk anak tercinta memang membutuhkan uang. Tapi anda tidak bisa menggunakan uang untuk memberi rasa aman, tanggung jawab, sikap yang baik serta kepandaian pada anak anda. Hal ini merupakan buah dari waktu dan perhatian yang anda curahkan untuk mereka dan hal – hal baik yang anda ajarkan. Uang memang membantu kita memenuhi aspek pengasuhan, tapi waktu telah membuktikan bahwa kebutuhan dasar tiap anak adalah berapa banyak waktu yang diberikan orang tuanya.

4. Cinta


Cinta tidak bisa dibeli dengan uang, akuilah hal ini benar. Memang dengan uang kita bisa membuat orang tertarik, tapi cinta berasal dari rasa saling menghargai, perhatian, berbagi pengalaman dan kesempatan untuk berkembang bersama. Itu sebabnya banyak pasangan yang menikah karena uang, tak bertahan lama.

5. Penerimaan

Untuk diterima oleh lingkungan pergaulan, Anda tak butuh uang. Bila Anda ingin diterima, fokuskan energi Anda untuk membuat diri Anda berharga bagi lingkungan sekitar dengan menjadi teman dalam suka dan duka.


6. Kesehatan


Kita butuh uang untuk mengongkosi biaya perawatan dan membeli obat, tapi uang tak bisa menggantikan kesehatan yang hilang. Itu sebabnya pepatah lebih baik mencegah daripada mengobati sebaiknya kita terapkan. Mulailah berolahraga, berhenti merokok, dan banyak hal lain yang pasti sudah anda tahu.

7. Kesuksesan

Beberapa orang memang ada yang mencapai kesuksesan dengan menyuap, tapi ini adalah pengecualian. Kesuksesan hanya berasal dari kerja keras, kemauan, dan sedikit kemujuran. Ada aspek kecil dari usaha menuju sukses yang bisa didapatkan dengan uang, misalnya mengikuti pelatihan atau membeli peralatan, tapi sukses lebih banyak berasal dari usaha yang Anda lakukan sendiri.


8. Bakat

Kita dilahirkan dengan bakat tertentu. Dengan uang, yang bisa kita lakukan adalah mengasah bakat tersebut, misalnya belajar musik. Namun para ahli mengatakan, untuk menjadi ahli di bidangnya, kita membutuhkan bakat.


9. Akhlak yang baik

Banyak orang yang kaya raya, tapi sikapnya kasar dan ucapannya sinis. Tak sedikit orang sederhana yang tutur katanya sopan dan menunjukkan rasa hormat pada orang lain. Jadi, jumlah uang yang dimiliki bukan penentu sikap atau akhlak seseorang.


10. Kedamaian

Bila uang bisa membeli kedamaian, barangkali kita tak lagi mendengar tentang perang. Justru yang sering terjadi sebaliknya, uang lah yang menjadi sumber pertikaian dan permusuhan yang terjadi dalam lingkungan keluarga, masyarakat bahkan antar negara.

Demikian 10 hal yang tidak bisa dibeli dengan uang, namun uang memang seharusnya digunakan sebagai alat tukar, guna memenuhi kebutuhan hidup. Dengan bekerja keras kita mencari penghasilan dan memperoleh uang. Maka dari itu, uang sebaiknya digunakan sebagai alat dalam mencari kebahagiaan hidup ini, bukan tujuan hidup kita !!! Bukankah begitu sobaaat...!!!?. Wassalam

Sabtu, 09 April 2011

MAKNA IKHLAS DALAM BERIBADAH

Ikhlas kepada Allah subhanahu wata’ala maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wata’ala dan mendapatkan keridhaanNya.

Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka di sini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut:

Pertama, dia memang ingin ber-taqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.

Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah rodhiallaahu’anhu bahwasanya Nabishollallaahu’alahi wasallam bersabda, “Allah subhanahu wata’ala berfirman,


أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.

“Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukanKu dengan sesuatu selainKu, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya.”[1]

Kedua, dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan ber-taqarrub kepada Allah; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah subhanahu wata’ala. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata’ala berfirman,

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ

أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15-16).

Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama; bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya.

Ketiga, dia bermaksud untuk ber-taqarrub kepada Allah subhanahu wata’ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya -disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya; dia berhaji -di samping niat beribadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syiar haji (al-Masya’ir) dan bertemu para jamaah haji; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala mengenai para jamaah haji,

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُم

“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (Al-Baqarah: 198).

Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka, dia tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya,

وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُواْ مِنْهَا رَضُواْ وَإِن لَّمْ يُعْطَوْاْ مِنهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58).

Di dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah rodhiallaahu’anhu disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila-penj.) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah sholallaahu’alaihi wasallam bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi sholallaahu’alaihi wasallam tetap menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala.”[2]

Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain dari Umar bin al-Khaththabrodhiallaahu’anhu bahwasanya Nabi shollallaahu’alaihi wasallam bersabda,


مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

“Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya; maka hijrah-nya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut”.[3]

Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selainNya juga.

Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai melalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.

Jika ada yang mengatakan, “Apa standarisisi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?”

Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka baik hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.

Yang jelas, perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa jadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.

Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas.”

Semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan petunjuk kepada kita, agar kita dianugerahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.

Sumber : Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz I, hal. 98-100. Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, Penerbit Darul Haq.

TIME IS SWORD